KASUS PERUSAHAAN YANG
MELAKUKAN PELANGGARAN ETIKA
1.
Perusahaan KSO TPK KOJA
TPK Koja adalah terminal
petikemas di tanjung priok yang dibangun dan dikelola oleh PT(Persero)
Pelabuhan Indonesia II dan PT Humpuss Terminal Petikemas yang meliputi panjang
dermaga 650 M, lapangan penumpukan petikemas (container yard)-utilitas-dan
jalan lingkungan seluas 30,6 Ha, 6 unit container crane, 21 unit transtainer
(RTG), 40 head truk dan 50 chasis.
Perjanjian kerjasama pembangunan dan pengeloaan dua perusahaan tersebut
dituangkan dalam Perjanjian No. HK 566/6/4/PI.II-94 dan 001/HTP-PI.II/VIII/1994
yang kemudian diamandemen menjadi Addendum Perjanjian No. HK 566/2/12/PI.II-99
dan 0012/HTP.PI.II/ADD/III/99. TPK Koja saat itu dibangun dengan kapasitas
produksi (throughput) sebesar 1 juta TEUs per tahun. Dikarenakan krisis ekonomi
tahun 1998 yang disusul dengan tumbangnya rezim orde baru pada tahun 2000 saham
PT Humpuss Terminal Petikemas (selanjutnya disebut HTP) sebesar 100% dijual
kepada Ocean Deep Invesment Holding Ltd.(59,6%) dan Ocean East Invesment
Holding Ltd.(40,4%) yang berbadan Mauritius
dan selanjutnya HTP berubah nama menjadi PT Ocean Terminal Petikemas
yang berbadan hukum asing. Pada tanggal
28 agustus 2000 berdirilah PT Ocean Terminal Petikemas yang berbadan hukum
Indonesia dan akhirnya berubah lagi menjadi PT Hutchison Port Indonesia
(selanjutnya disebut PT HPI) pada tanggal 14 agustus 2007. PT HPI adalah anak
perusahaan Hutchison Port Holding yang berpusat di Hongkong yang merupakan
operator terminal dunia yang memiliki 70 pelabuhan di 24 negara. Hingga saat
ini TPK Koja telah beroperasi lebih dari 10 tahun dengan troughput tertinggi
dicapai pada tahun 2008 lalu yaitu sekitar 706.000 TEUs dengan keuntungan
bersih hampir 500 Milyar rupiah. Dengan kesepakatan pembagian keuntungan 52,12%
untuk PT Pelindo II dan 47,88 untuk PT HPI, TPK Koja merupakan entitas bisnis
yang profitable dan prospektif.
Namun dibalik keuntungan
yang dinikmati oleh kedua pemilik TPK Koja menyimpan 2(dua) permasalahan besar.
Permasalahan itu adalah :
1. PERMASALAHAN HUKUM
KETENAGAKERJAAN
Seperti diketahui TPK Koja hanya sebuah unit terminal petikemas yang
dikelola bersama secara terpisah dari kedua perusahaan induknya (Pelindo II dan HPI). Namun demikian
apa yang dikelola TPK Koja merupakan kegiatan pokok dalan sebuah bisnis
pelabuhan yaitu bongkar-muat dan receiving-delivery petikemas dimana dalam
kesehariannya Manajemen KSO TPK Koja yang bertanggung jawab kepada perusahaan induk atas segala pengelolaannya.
Dan uniknya Manajemen KSO ini bisa merekrut dan mempekerjakan karyawan tetap.
Menurut pasal 64 UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa
penyerahan pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya hanya bisa melalui
2(dua) metoda yaitu : perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa
tenaga kerja atau buruh. Dalam pasal 65 dinyatakan pula bahwa pekerjaan yang
diserahkan pengelolaannya tersebut tidak boleh kegiatan pokok dan perusahaan
pengelolanya harus berbadan hukum. Disinilah letak PELANGGARAN HUKUM KSO TPK
Koja dari sisi ketenagakerjaan,yaitu :
1. KSO TPK Koja melakukan kegiatan pokok pelabuhan tetapi karyawan yang
dipekerjakan bukan merupakan karyawan tetap perusahaan induknya (PT Pelindo II
atau PT HPI)
2. KSO TPK oja bukan perusahaan yang berdiri sendiri, bukan perusahaan
outsourcing, dan bukan perusahaan berbadan hukum tetap tetapi mempunyai karyawan tetap.
Pelanggaran Hukum di atas dapat diselesaikan dengan 2 alternatif :
·
KSO TPK Koja menjadi
unit terminal petikemas yang keberadaannya merupakan salah satu unit usaha yang
tidak terpisahkan dari perusahaan induk PT(Persero) Pelabuhan Indonesia II
dimana karyawannya merupakan karyawan tetap Pelindo II dengan tetap ada
pembagian keuntungan dengan PT HPI.
·
KSO TPK Koja
ditingkatkan menjadi perusahaan patungan yang berbadan hukum tetap (join
venture company) dimana karyawannya menjadi karyawan tetap perusahaan baru ini.
2. PERMASALAHAN HUKUM
KORPORASI
Seperti dijelaskan
sebelumnya KSO TPK Koja dikelola dengan model Kerja Sama Operasi antara PT
(Persero) Pelabuhan Indonesia II dan PT Hutchison Port Indonesia. Namun dalam
pelaksanaannya ada beberapa hal yang menjadi permasalahan, yaitu :
1. Status kepemilikan 100% saham asing setelah pengambilahan alihan PT
Humpuss Terminal Petikemas oleh PT Hutchison Port Indonesia. Hal ini menyalahi
UU PMA No. 1 tahun 1967; PP No. 83 tahun 2001 dan Keppres 118 tahun 2000 dimana
diatur untuk jasa kepelabuhanan, PMA hanya boleh mengusai saham maksimal 95%.
Bahkan menurut UU PMA yang baru No. 25
tahun 2007 jo. PP No 77 tahun 2007 menetapkan PMA hanya boleh mengusai maksimal
saham 45% untuk jasa kepelabuhanan. Berdasarkan hal tersebut keberadaan HPI di
Indonesia telah menyalahi hukum yang berlaku.
2. Status Perjanjian Kerja Sama Operasi akibat pengambil alihan PT Humpuss
Terminal Petikemas oleh PT Hutchison Port Indonesia. Hingga detik ini belum ada
sebuah dokumen pun yang menyatakan bahwa Pelindo II mempunyai hubungan
kontraktual pengelolaan terminal petikemas dengan PT Hutchison Port Indonesia.
Padahal sejak dilakukan penjualan saham dari Humpuss Terminal Petikemas kepada
PT HPI telah dilakukan transaksi dan korespondensi antara Pelindo II dan HPI.
Hal ini terjadi karena belum diubahnya salah satu subyek dalam perjanjian induk
kerjasama sehingga sampai saat ini yang tercantum masih PT Pelindo II dan PT
Humpuss Terminal Petikemas. Akibatnya pelaksanaan kerjasama saat ini cacat
HUKUM dan menyebabkan ketidak-absahan seluruh hubungan kontraktual pengelolaan
TPK Koja.
3. Perubahan Nomenklatur Jabatan Manajemen KSO TPK Koja. Berdasarkan
Perjanjian Induk Kerjasama operasi,manajemen KSO dikepalai oleh General Manager
yang membawahi 4(empat) deputy GM. Akan tetapi mulai 1 Februari 2007 General
Manager dan deputy GM diubah menjadi Direktur Utama dan 5 Direktur. Perubahan
ini tidak dapat dibenarkan secara hukum karena TPK Koja hanya sebuah badan
bentukan dari Kitan Undang Undang Hukum Perdata sebagai persekutuan perdata
biasa yang tidak tunduk pada UU Perseroan Terbatas. ApalagI setelah perubahan
ini para pemangku jabatan kemudian menganalogikan dirinya seperti para direksi
perusahaan perseroan terbatas di lingkungan BUMN dimana mereka berhak atas gaji
besar dan berbagai benefit seperti mobil mewah,kompensasi sewa rumah, uang
pengganti BBM,asuransi jabatan,dan tantiem yang diistilahkan dengan penghargaan
atau insentif managemen. Secara keseluruhan masing-masing direksi TPK Koja
dalam satu tahunnya bisa berpenghasilan hampir
1 MILYAR rupiah. Hal ini harus
ditinjau ulang mengingat perubahan nomenklatur tersebut diindikasikan hanya
untuk menguntungkan para pemangku jabatan termasuk beberapa direksi Pelindo II
dalam posisinya sebagai Dewan Pengawas.
2.Analisis
2.1. Dari Kasus di
atas Perusahaan TPK KOJA melakukan pelanggaran etika hukum ketenagakerjaan dan
korporasi.
2.2. Dari Kasus diatas
pihak yang melakukan pelangaran adalah pihak manajemen KSO TPK KOJA, pihak
Pelabuhan Indonesia II (PELINDO II),dan Pihak Hutchison Port Indonesia (HPI).
2.3. Akibat dari
pelanggaran ang dilakukan adalah pelaksanaan kerjasama antara PT.PELINDO II dan
PT.HPI saat ini cacat hukum dan menyebabkan ketidakabsahaan seluruh hubungan
kontraktual pengelolaan TPK KOJA dikarenakan tidakada dokumen yang mengatakan
bahwa PELINDO II mempunyai hubungan kontraktual pengelolaan terminal petikemas
dengan PT.HPI.
2.4. Tindakan yang
dilakukan pemerintah adalah
·
Menjadikan KSO TPK Koja
menjadi unit terminal petikemas yang keberadaannya merupakan salah satu unit
usaha yang tidak terpisahkan dari perusahaan induk PT(Persero) Pelabuhan
Indonesia II dimana karyawannya merupakan karyawan tetap Pelindo II dengan
tetap ada pembagian keuntungan dengan PT HPI.
·
Menjadikan KSO TPK Koja
ditingkatkan menjadi perusahaan yang berbadan hukum tetap (join venture
company) dimana karyawannya menjadi karyawan tetap perusahaan baru ini.
2.5. Pelanggaran tersebut melanggar UUD :
·
pasal 64 UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa
penyerahan pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya hanya bisa melalui
2(dua) metoda yaitu : perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa
tenaga kerja atau buruh.
·
pasal 65 dinyatakan pula
bahwa pekerjaan yang diserahkan pengelolaannya tersebut tidak boleh kegiatan
pokok dan perusahaan pengelolanya harus berbadan hukum.
·
UU PMA No. 1 tahun 1967;
PP No. 83 tahun 2001 dan Keppres 118 tahun 2000 dimana diatur untuk jasa
kepelabuhanan, PMA hanya boleh mengusai saham maksimal 95%. Bahkan menurut UU
PMA yang baru No. 25 tahun 2007 jo. PP
No 77 tahun 2007 menetapkan PMA hanya boleh mengusai maksimal saham 45% untuk
jasa kepelabuhanan.
3.
Pendapat saya adalah
seharusnya karyawan TPK KOJA melalui serikat pekerja harus berani untuk
menggugat kepada menggugat kepada kedua pemilik yaitu PT(persero) Pelabuhan
Indonesia II dan PT Hutchison Port Indonesia. Sehingga menjadi bahan
pembelajaran bagi seluruh lapisan masyarakat yang ingin membuat perusahaan agar
jangan pernah melanggar kode etik bisnis yang sudah ditetapkan oleh UUD.